Syawalan

Syawalan merupakan tradisi masyarakat Kota Pekalongan khususnya masyarakat Daerah Krapyak di bagian utara Kota Pekalongan, yang dilaksanakan pada setiap hari ketujuh (8 Syawal) sesudah Hari Raya Idul Fitri. Hal paling menarik dalam pelaksanaan tradisi ini adalah dibuatnya Lopis Raksasa yang ukurannya mencapai tinggi 2 meter diameter 1,5 meter dan beratnya bisa mencapai 1.000 Kg lebih atau 1 kuintal. Setelah acara doa bersama, Lopis Raksasa kemudian dipotong oleh Walikota Pekalongan dan dibagi-bagikan kepada para pengunjung. Para perngunjung biasanya berebut untuk mendapatkan Lopis tersebut yang maksudnya untuk mendapat berkah. Pembuatan Lopis dimaksudkan untuk mempererat tali silahturahmi antar masyarakat Krapyak dan dengan masyarakat daerah sekitarnya, hal ini diidentikkan dengan sifat Lopis yang lengket.
Asal mula tradisi syawalan ini adalah sebagai berikut, pada tanggal 8 Syawal masyarakat Krapyak berhari raya kembali setelah berpuasa 6 hari, dalam kesempatan ini, mereka membuat acara open house menerima para tamu baik dari luar desa dan luar kota. Hal ini diketahui oleh masyarakat diluar krapyak, sehingga merekapun tidak mengadakan kunjungan silaturahmi pada hari-hari antara tanggal 2 hingga 7 dalam bulan Syawal, melainkan berbondong-bondong berkunjung pada tanggal 8 Syawal. Yang demikian ini berkembang luas, bahkan meningkat terus dari masa ke masa sehingga terjadilah tradisi Syawalan seperti sekarang ini.
Tradisi Syawalan yang rutin dilakukan oleh masyarakat Kota Pekalongan ini sudah dimulai sejak 130-an tahun yang lalu, tepatnya pada tahun 1855 M. Kali pertama yang mengelar hajatan Syawalan ini adalah KH. Abdullah Sirodj yang merupakan keturunan dari Kyai Bahu Rekso. Upacara pemotongan lopis ini baru dimulai sejak tahun 1956 oleh bapak Rohmat, kepala desa daerah tersebut pada saat itu. Lopisan berasal dari kata lopis, yaitu sejenis makanan spesifik Krapyak yang bahan bakunya terdiri dari ketan, yang memiliki daya rekat luar biasa bila sudah direbus sampai masak benar. Lopis memang mengandung suatu falsafah tentang persatuan dan kesatuan yang merupakan sila ketiga dari Pancasila kita. Betapa tidak, ia dibungkus dengan daun pisang, diikat dengan tambang dan direbus selama empat hari tiga malam, sehingga tidak mungkin lagi butir-butir ketan itu untuk bercerai berai kembali sebagaimana semula. Mengapa tidak dibungkus dengan plastik atau bahan lain yang lebih praktis, sesuai dengan kecangihan masa kini ? Pohon pisang tidak mau mati sebelum berbuah dan beranak yang banyak atau dengan kata lain tak mau mati sebelum berjasa dan meninggalkan generasi penerus sebagai penyambung estafet. Demikian mendalamnya pemikiran sesepuh kita terdahulu.
Masyarakat Krapyak juga biasanya menyediakan makanan ringan dan minuman secara gratis kepada para pengunjung. Masyarakat juga biasanya menggelar kegiatan hiburan, pentas seni dan lomba-lomba serta menghias kampung untuk memeriahkan tradisi ini. Selain Lopis raksasa, hari ini langit Pekalongan akan di penuhi balon2 udara berukuran besar, warna warni, bermacam desain, semarak karena beberapa balon juga disertai petasan, meriah, begitulah Pekalongan dengan segala budaya dan kearifan lokalnyaPagi hari setelah menunaikan sholat subuh, sebagian masyarakat melepas balon plastik berukuran raksasa ke udara. Namun belakangan kegiatan tersebut dilarang oleh pemerintah dan aparat pemantau lalulintas udara karena dikhawatirkan apabila balon udara tersebut terbang cukup tinggi dapat mengganggu dan membahayakan penerbangan pesawat serta bahaya api yang bisa membakar bangunan apabila balon tersebut jatuh ke atap rumah dengan api yang masi menyala.
Jumlah pengunjung pada tradisi ini mencapai ribuan orang yang berasal dari seluruh Kota Pekalongan dan sekitarnya. Setelah pembagian Lopis selesai, biasanya para pengunjung berbondong-bondong ke Destinasi Wisata Pantai Slamaran dan Pantai Pasir Kencana untuk berlibur bersama keluarga sekedar menikmati kesegaran udara pantai atau menikmati meriahnya hiburan gratis yang telah dipersiapkan masyarakat Krapyak sebelumnya.